Praktisi ISO Management System and Compliance. Blog tentang ISO 9001, SIO 14001, ISO 45001 dan ISO 45001 pada https://www.effiqiso.com/. Menulis Buku :Best Practice for Maintaining ISO 50001 Certification, \xd\xd ISO 9001:2015 A Practical Storytelling Guide for Newcomers, \xd\xd Maintaining Mental Health in the Digital Era.
Debt Collector dan Ancaman di Jalanan Jakarta
5 jam lalu
Jakarta menakutkan bukan karena kemacetan atau banjir, tapi karena motor bisa dirampas kapan saja, oleh siapa saja, dengan dalih apa saja.
Oleh Bambang RIYADI
Pagi itu, di persimpangan Jalan Raya Kedoya, Jakarta Barat, seorang pengendara NMAX tiba-tiba dikepung oleh enam pria berseragam mirip satpam. Mereka turun dari dua mobil minibus dengan gerakan terlatih. Salah satu langsung menarik rem motor korban. Yang lain mengacungkan kamera ponsel sambil berteriak: “Kamu nanggung, bayar cicilan atau kami bawa motor!”
Tidak ada surat penugasan. Tidak ada identitas resmi. Tidak ada prosedur hukum yang dijalankan. Hanya kekerasan, ancaman, dan adegan yang lebih mirip aksi film preman daripada penagihan utang profesional.
Video insiden tersebut viral dalam hitungan jam. Netizen marah. Polisi angkat bicara. Enam pelaku dikonfirmasi sebagai debt collector dari perusahaan pembiayaan (leasing), kini sedang diburu Polda Metro Jaya. Tapi pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa aksi seperti ini masih bisa terjadi di jantung ibu kota?
Bukan Sekali Dua Kali: Pola Kekerasan yang Berulang
Insiden pengepungan pengendara NMAX di Jakbar bukan kasus terisolasi. Sejak 2023, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat lebih dari 47 laporan kekerasan oleh debt collector, mulai dari penganiayaan, perusakan kendaraan, hingga penyanderaan sementara.
Modusnya seragam:
- Mengintai target di rumah, tempat kerja, atau jalanan.
- Menyergap secara mendadak, seringkali tanpa pemberitahuan resmi.
- Menggunakan intimidasi fisik, bahkan senjata tajam.
- Merekam aksi untuk "bukti penagihan", lalu mengancam menyebarkannya di media sosial.
“Saya ditodong pisau cuma karena telat dua bulan. Mereka bilang, ‘Kalau nggak bayar, motor kita bawa, kamu kita antar ke rumah sakit’,” cerita Andri, sopir ojol di Cengkareng, yang menjadi korban tahun lalu.
Padahal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 16/2018 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sudah jelas melarang praktik penagihan yang mengandung ancaman, pelecehan, atau paksaan.
Namun, aturan itu seperti hantu: semua tahu ada, tapi tak pernah terlihat ditegakkan.
Ekspansi Leasing vs Lemahnya Pengawasan
Di balik maraknya aksi debt collector, ada tren besar: ledakan kredit kendaraan bermotor.
Data OJK 2025 menunjukkan, portofolio pembiayaan kendaraan roda dua tumbuh 14% per tahun. Di Jakarta, jumlah unit motor baru yang dibiayai leasing mencapai 1,2 juta unit per tahun — sebagian besar dikredit oleh pekerja harian, driver online, dan pelajar.
Perusahaan leasing bersaing ketat untuk merebut pasar. Mereka menawarkan DP murah, syarat mudah, dan janji cepat cair. Tapi di saat yang sama, mereka menuntut kolektibilitas tinggi dari tim penagih.
Tekanan inilah yang memicu praktik ekstrem: debt collector dibayar berdasarkan hasil (komisi per unit), sehingga mereka harus "sukses" secepat mungkin — walau dengan cara ilegal.
“Target kami ambil motor, bukan uang. Kalau motor dapat, bonus langsung cair. Urusan hukum urusan nanti,” ungkap seorang mantan debt collector yang minta tak disebutkan nama.
Legal atau Ilegal? Saat Debt Collector Melampaui Batas
Secara hukum, penyitaan kendaraan hanya bisa dilakukan melalui proses hukum resmi — yaitu lewat putusan pengadilan atau lelang fidusia yang sah. Debt collector tidak punya wewenang hukum untuk menyita kendaraan secara sepihak.
Namun, banyak perusahaan leasing menggunakan celah: mereka menyerahkan penagihan pada pihak ketiga (outsourcing), lalu melepas tanggung jawab ketika terjadi pelanggaran.
“Kami hanya memberi instruksi penagihan non-litigasi. Apa yang dilakukan tenaga lapangan di luar kendali kami,” kata juru bicara salah satu perusahaan leasing besar, dalam wawancara media.
Ini adalah bentuk abuse of power yang sistemik. Perusahaan menikmati keuntungan dari agresivitas tim lapangan, tapi menolak bertanggung jawab atas kekerasannya.
Akibatnya, rakyat kecil terjepit:
- Di satu sisi, butuh kredit untuk bekerja (ojol, antar barang).
- Di sisi lain, hidup dalam ancaman setiap hari.
Isu Hangat: Debt Collector vs Hak Atas Keamanan Publik
Aksi penghadangan di jalan raya bukan sekadar soal utang piutang. Ini adalah pelanggaran terhadap ketertiban umum dan hak atas rasa aman.
Bayangkan:
- Anak-anak yang melihat ayahnya diintimidasi di depan rumah.
- Lalu lintas macet karena insiden penyitaan dadakan.
- Korban trauma, malu, bahkan dipecat karena motor — alat kerjanya — disita secara kasar.
Polisi memang bisa menangkap pelaku, seperti yang terjadi dalam kasus NMAX di Kedoya. Tapi selama akar masalah tidak diselesaikan, pelaku akan diganti, metode akan dimodifikasi, dan kekerasan akan terus berlangsung.
Solusi yang Harus Diperjuangkan
Untuk menghentikan kekerasan debt collector, dibutuhkan pendekatan menyeluruh:
-
Regulasi Lebih Ketat dari OJK
- Larang outsourcing penagihan ke pihak tak terverifikasi.
- Terapkan sanksi berat bagi perusahaan yang terbukti memicu kekerasan.
-
Pelatihan & Sertifikasi Wajib Debt Collector
- Harus paham hukum, etika, dan teknik penagihan non-intimidatif.
- Harus membawa ID card resmi dan surat penugasan tertulis.
-
Sistem Pelaporan Online & Respons Cepat
- Buat kanal khusus di Polri dan OJK untuk laporan kekerasan debt collector.
- Prioritaskan penanganan karena menyangkut keselamatan publik.
-
Restrukturisasi Utang yang Manusiawi
- Dorong perusahaan leasing untuk menawarkan restrukturisasi, bukan penyitaan, saat konsumen kesulitan.
- Libatkan mediator independen dalam proses penagihan.
-
Edukasi Konsumen
- Kampanye nasional: “Kamu punya hak saat ditagih utang.”
- Sosialisasi bahwa penyitaan sepihak itu ilegal.
Penutup: Rasa Aman Bukan Barang Mewah
Seorang pengemudi ojol tidak boleh hidup dalam ketakutan setiap kali melihat mobil asing mengikutinya. Seorang ibu rumah tangga tidak boleh dibuat menangis hanya karena terlambat bayar cicilan motor anaknya sekolah.
Utang bukan aib. Dan penagihan utang bukan izin untuk menjadi preman.
Negara hadir bukan hanya untuk melindungi korporasi, tapi juga melindungi warganya dari kekerasan, termasuk kekerasan yang disokong oleh sistem keuangan.
Ketika enam orang bisa menghentikan motor di tengah jalan tanpa rasa takut, maka sistem kita telah gagal melindungi rasa aman warga.
Dan sampai OJK, Polri, dan perusahaan leasing benar-benar bertanggung jawab, Jakarta akan terus menjadi kota yang membuat orang takut — bukan karena kemacetan atau banjir, tapi karena motor mereka bisa dirampas kapan saja, oleh siapa saja, dengan dalih apa saja.
Karena rasa aman adalah hak dasar. Bukan komoditas yang bisa dikorbankan demi profit pembiayaan.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler